Rumah adat saga








Pada setiap bulan September, komunitas adat Saga, yang lokasinya berjarak sekitar 23 kilometer arah timur Kota Ende menggelar ritual adat nggua atau pesta syukur paska panen. Selain adat budaya yang masih kuat dipegang, kampung ini pun memiliki keunikan berupa rumah-rumah adat tradisionalnya, yang disebut sa’o.
Secara etimologi, Saga memiliki arti suara yang berwibawa, suara terpandang atau suara terhormat. Dapat juga diartikan bunyi air yang mengalir tidak deras atau keras tetapi menghanyutkan, atau juga dapat dikatakan suara kesejukan atau suara perdamaian dan suara keberuntungan.
Dari pengertian diatas dikatakan bahwa sejak dulu hingga saat ini secara implisit terdapatwaka atau martabat kepemimpinan yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Kampung adat Saga sendiri berada di puncak bukit tertinggi di ujung selatan Desa Saga. Kampung adat ini dahulunya merupakan perkampungan yang ditinggali banyak penduduk. Topografi perkampungan ini berbukit-bukit.
“Dulunya kampung ini ramai sekali namun setelah terjadi gempa hebat di Flores tahun 1992, beberapa rumah mengalami kerusakan. Banyak warga yang mengungsi dan membangun rumah di bagian bawah bukit, kampung [baru] yang sekarang ada,” ujar Philipus Kami, salah satu keturunan tetua ada (mosalaki) Saga menjelaskan kepadaMongabay Indonesia. Orang Saga sendiri termasuk kedalam kelompok etnik Lio.
Sa’o di Saga saat ini masih ada sebanyak  22 rumah yang berdiri utuh. Rumah-rumah ini dibangun di tanah rata bertingkat dimana bagian pinggirnya disusun bebatuan sebagai penahan.
Pondasi  rumah ditopang sembilan batu ceper berukuran besar yang ditanam di dalam tanah sehingga cukup untuk menahan beban rumah sehingga tidak perlu lagi penggalian pondasi. Tinggi batu tersebut dari permukaan tanah sekitar 60 hingga 100 cm untuk mendukung struktur rumah berbentuk  panggung.

Komentar